SULUK SUNAN KALI JAGA MLEBU ALLAH METU ALLAH

Ada warisan temurun spirit ajaran Sunan Kalijaga atau di sebut SULUK SUNAN KALI JAGA MLEBU ALLAH METU ALLAH. Dalam permenungan hakiki manusia serta penyadaran pencarian kesejatian:

Bismillahirrahmanirrahim (Dengan / Atas Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang). Melebu Allah. Metu Allah (masuknya nafas karena Allah ... keluarnya nafas karena Allah).

Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan hidup itu Allah). Utek dunungno kodrate Allah (otak letakkan atas kodrat Allah).

Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah ... Wahai dzat yang tidak sama dengan makhluknya. Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu utusanMu, mengantarkan limpahan kasih sayangMu pada manusia dan segala ciptaanMu di seluruh alam. Melebu Allah. Metu Allah (masuknya nafas karena Allah ... keluarnya nafas karena Allah/ masuk dan keluarnya nafas menyebut Allah).

Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah ... Ada warisan temurun spirit ajaran Sunan Kalijaga. Dalam permenungan hakiki manusia serta penyadaran pencarian kesejatian: Bismillahirrahmanirrahim (Dengan / Atas Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang).

Melebu Allah. Metu Allah (masuknya nafas karena Allah ... keluarnya nafas karena Allah). Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan hidup itu Allah). Utek dunungno kodrate Allah (otak letakkan atas kodrat Allah).

Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah ... Wahai dzat yang tidak sama dengan makhluknya. Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu utusanMu, mengantarkan limpahan kasih sayangMu pada manusia dan segala ciptaanMu di seluruh alam. Melebu Allah. Metu Allah (masuknya nafas karena Allah ... keluarnya nafas karena Allah) Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah ... Hilangkan rasa takut tersesat didalam menempuh jalan ruhani ... bekal kita adalah tauhid, lambungkan jiwa melayang menuju Allah ... dekatkan dan berbisiklah dengan kemurnian hati ... jangan menghadap dengan konsentrasi pikiran, sebab anda akan mengalami pusing dan tegang.

Usahakanlah tubuh anda rileks dan pasrah ... biarkan hati bergerak menyebut Asma-Nya yang Maha Agung ... Ajaklah perasaan dan fikiran untuk hadir bersujud dihadapan-Nya. Jangan hiraukan kebisingan pikiran ... usahakan hati tetap teguh menyebut nama Allah berulang-ulang ... sampai datang ketenangan dan hening serta rasa tenteram didalam kalbu ... kalau anda mengalami pusing dan penat ... berarti cara berdzikirnya menggunakan kosentrasi pikiran, maka ulangi dengan cara berkomunikasi didalam hati ... Allah ... Allah ... Allah ...

Hidup Bersahaja Sebagai Pilihan Kehati-hatian!

AMBISI dan keinginan manusia seringkali sangatlah muluk. Apa saja yang dimilikinya selalu terasa kurang. Oleh karenanya, ada yang mengibaratkan perlombaan hidup duniawi seperti menaiki kendaraan di jalan raya. Setiap kali melihat kendaraan lain di depan, kita selalu berhasrat untuk mendahuluinya. Segala daya dikerahkan, dan sekecil apa pun peluang dimanfaatkan. Namun, ketika kendaraan itu telah berhasil dilampaui, kepuasannya hanya sekejap mata. Sebab, di depan kita ternyata sudah ada lagi ratusan bahkan ribuan kendaraan lain. Maka, berkobarlah kembali hasrat itu, bahkan semakin menggila. Tanpa sadar, kita pun terjun dalam perlombaan yang tak berujung.

Demikian pulalah ambisi kehidupan duniawi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seandainya anak Adam mempunyai harta sebanyak dua lembah, niscaya dia akan mencari yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi rongga (perut) anak Adam kecuali tanah, dan Allah akan menerima pertaubatan siapa saja yang mau bertaubat.” (Riwayat Bukhari dari Ibnu ‘Abbas, dan Muslim dari Anas bin Malik).

Benar. Tidak akan ada yang bisa menghentikan ambisi seperti itu selain kematian; tatkala tanah telah memenuhi rongga perut manusia. Ketika itulah segala ambisinya padam, dan ia pergi hanya berbekal secarik kain kafan. Dilepasnya segala yang selama ini ia perjuangkan mati-matian: rumah dan kendaraan, emas dan perak, anak dan istri, karir dan jabatan, bahkan seluruh dunia ini. Hanya amal yang menyertai, entah baik atau buruk.

Jika nasib seluruh manusia akan seperti itu, mengapa kita tidak memilih meringankan beban dan menyederhanakan hidup? Mengapa kita tidak mengambil dari dunia ini seperlunya karena ia pasti ditinggalkan, dan memperbanyak bekal yang pasti dibawa menghadap Allah, yakni amal shalih? Dikatakan dalam sebuah hadits, “Orang cerdik adalah seseorang yang menundukkan dirinya dan beramal untuk (mempersiapkan kehidupan) setelah kematian. Sedangkan orang lemah adalah seseorang yang memperturutkan hawa nafsunya, kemudian berangan-angan (mendapat rahmat) Allah.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Syaddad bin Aus, dengan isnad lemah).

Maka, demikianlah peragaan nyata yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya. Tempat tinggal dan perabot rumah tangga mereka bersahaja, tidak tergoda oleh kemewahan. Makanan dan pakaian mereka pun sederhana, tidak berlebihan. Tetapi, jangan tanya amal mereka: shalatnya, puasanya, sedekahnya, jihadnya, tilawahnya, dzikirnya, tawakkalnya, sabarnya, dsb. Kehidupan mereka secara tepat digambarkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Fadhalah bin ‘Ubaid, “Beruntunglah orang yang diberi hidayah ke dalam Islam, penghidupannya mencukupinya, dan ia merasa puas dengannya.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits hasan-shahih).

Sungguh, inilah kebahagiaan: hidup dalam naungan Islam, diberi rezeki yang cukup, dan memiliki hati yang puas (qana’ah). Jika salah satunya hilang, maka yang lain menjadi limbung bahkan ambruk tanpa daya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad itu mencukupi.” (Riwayat Muslim, dari Abu Hurairah). “Cukup” artinya: tidak kurang sehingga menggelisahkan, dan tidak berlebih sehingga menyibukkan.

Mungkin, ada yang terpikir, bahwa pilihan itu berarti hidup berkekurangan, melarat dan memprihatinkan. Namun, kehidupan para Sahabat dan generasi Salaf ternyata tidak seperti itu. Banyak diantara mereka yang penghasilannya “mencengangkan”. Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf adalah contoh-contoh klasik dalam kategori ini.

Tetapi, mereka mengambil secukupnya bagi diri sendiri, lalu menyalurkan selebihnya di jalan Allah. Sejarah mencatat bagaimana Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya, ‘Umar menginfakkan setengah hartanya, dan ‘Utsman menyiapkan ribuan kuda perang lengkap dengan persenjataan dan perbekalannya. Tidak ketinggalan, ‘Ali bin Abi Thalib pernah bersedekah senilai 40 ribu dirham (setara 2,7 milyar rupiah lebih). Penghasilan tahunan Laits bin Sa’ad sekitar 20 ribu dirham, sedangkan ‘Abdurrahman bin Mahdi meraup 2 ribu dinar per tahun (senilai 4,4 milyar lebih). Apakah mereka hidup mewah? Ternyata tidak. Lalu, kemana larinya uang sebanyak itu? Ya, mereka membagikannya. Mereka berbahagia telah menjadi perantara Allah dalam membagikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya.

Barangkali, di sinilah letak perbedaan generasi mereka dengan sebagian orang di masa sekarang. Keduanya sama-sama bekerja keras meraih apa yang bermanfaat bagi mereka, namun setelah berhasil sikap hidupnya ternyata berbeda. Yang satu tetap bersahaja dan tidak enggan berbagi, sementara yang lain segera berubah dan semakin pelit. Jika demikian masalahnya, maka benarlah perkataan Imam Syafi’i, “Kefakiran para ulama’ adalah pilihan mereka sendiri, sedangkan kefakiran orang-orang bodoh adalah karena terpaksa.” (Dikutip an-Nawawi dalam Tahdzibul Asma’ wal Lughat).

Para pendahulu kita itu memilih hidup bersahaja diatas segala kelimpahan materi yang mereka miliki, secara sengaja dan sadar. Sementara sebagian dari kita memburu kelimpahan itu lalu menumpuknya untuk diri sendiri, dan terkadang samasekali tidak memperdulikan kehalalannya. Jika pun hidup bersahaja, seringkali karena tidak ada pilihan lain. Maka, berhati-hatilah orang yang menjadikan ‘Abdurrahman bin ‘Auf sebagai idolanya! Jangan semata-mata tergiur dengan besarnya harta yang beliau miliki, namun tidak memperhatikan bagaimana beliau hidup dan kemana harta itu disalurkan dan dibelanjakan.

Sementara di sisi lain, adalah sosok pemimpin teladan bernama Salman al Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah. Ketika kekhalifahan Umar bin Khattab, Salman diangkat untuk menjadi Gubernur Kufah penduduk memadati jalan raya untuk menyambut kedatangannya dengan mewah. Betapa kagetnya masyarakat, dikira kedatangannya akan diiringi sebuah pasukan besar, tidak tahunya ia datang sendiri dengan menunggang seekor keledai.

Seperti diketahui, kala itu penduduk Iraq hidup berdampingan dengan Persia yang dikenal memiliki istana megah menjulang tinggi dipenuhi emas dan permadani. Penduduk Kufah mengira Islam adalah agama yang megah dan mewah ternyata mereka salah.

“Kami datang secara bersahaja. Kami hidup untuk jiwa, dan kami datang untuk mengangkat derajat iman di dalam hati.”

Kala menjadi menjadi Gubernur Kufah dan ia mendapatkan gaji 5000 dirham, gaji sebagai pejabat daerah ia justru membagi gajinya menjadi 3 bagian. Sepertiga untuk dirinya, sepertiga untuk hadiah dan sepertiga sisanya untuk sedekah

Saat sakaratul maut, Salman menangis. Penduduk Kufah pun bertanya, “Kenapa engkau menangis?”

“Aku menangis karena Rasulullah pernah bersabda kepada kami, Hendaklah bekal kalian di dunia seperti bekal orang yang bepergian. Sementara kita semua lebih suka menumpuk harta dunia.” Demikian Salman mengutip hadits yang diriwayatkan Ahmad.

Penduduk lantas menjawab, “Semoga Allah mengampunimu. Lantas sebanyak apa harta yang kau miliki Salman?”

“Apa kalian meremehkan ini? Aku takut pada hari kiamat akan ditanya tentang sorban, tongkat dan wadah ini.” Inilah sikap zuhud dan wara’ nya seorang beriman bernama Salman al-Farisi. Wallahu a’lam.

Imam Abu Ishaq dengan Kaum Awam

IMAM ABU ISHAQ AS SYIRAZI suatu saat ragu saat membasuh wajah ketika berwudhu, hingga beliau menghabiskan beberapa gayung untuk berwudhu. Seorang lelaki awam yang melihat beliau pun menegurnya,”Wahai Syeikh tidak malukah Anda, berwudhu dengan cara demikian padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,’Barang siapa melebihi 3, maka ia telah berlebihan.’”

Maka Imam Abu Ishaq pun menjawab,”Kalau 3 basuhanku sah menurutku, maka aku tidak akan menambahnya”.

Lelaki awam itu pun berlalu, hingga ada seorang yang menegurnya,”Apa yang engkau katakan kepada seorang syeikh yang berwudhu itu?” Maka ia pun menjawab,”Orang tua itu terjangkit waswas, maka aku katakan demikian, demikian…”

Si penegur pun bertanya,”Tidak tahukah engkau siapa orang itu?” Laki-laki itupun menjawab,”Tidak.” Si penegur pun menjawab,”Dia itu adalah imam dunia, syeikh umat Islam, mufti ulama Syafi’iyah!”

Maka, lelaki awam itu pun kembali dengan perasaan malu kepada Imam Abu Ishaq,”Wahai tuanku, maafkan saya. Saya telah salah, saya tidak mengetahui siapa Anda.”

Imam Abu Ishaq pun menjawab,”Yang engkau katakan benar, tidak boleh lebih dari tiga kali basuhan. Dan yang aku katakana juga benar, kalau sekiranya sah 3 basuhanku menurutku, maka aku tidak akan menambahnya”. (Thabaqat As Sayfi’iyah Al Kubra, 4/ 228)

Demikianlah ketawadhu'an Imam Abu Ishaq, tetap berlaku meski berhadapan dengan kaum awam.

Riyadathus Shalihin : Banyaknya Jalan Kebaikan

Riyadathus Shalihin : Banyaknya Jalan Kebaikan

1. Dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah ra., ia bertanya kepada Rasulullah SAW : “Amal apakah yang paling utama ?” Beliau menjawab : “Iman kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya.” Saya bertanya : “Memerdekakan budak yang bagaimana yang paling utama ?” Beliau menjawab : “Memerdekakan budak ketika sangat disayang oleh tuannya dan yang paling mahal harganya .” Saya bertanya : “Seandainya saya tidak mampu berbuat yang sedemikian, lalu bagaimana ?” Beliau menjawab : “Kamu membantu orang yang bekerja atau kamu menyibukkan diri agar hidupmu tidak sia-sia.” Saya bertanya lagi : “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya tidak mampu melakukan sebagian pekerjaan itu ?” Beliau menjawab : “ Janganlah kamu berbuat kejahatan kepada sesama manusia, karena sesungguhnya yang demikian itu termasuk sedekah untuk dirimu .” (HR.Bukhari dan Muslim)

2. Dari Abu Dzarr ra., ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Setiap pagi, pada ruas tulang kalian terdapat sedekah, setiap ucapan tasbih (SUBHANALLAH) adalah sedekah, setiap ucapan tahmid (ALHAMDULILLAH) adalah sedekah, setiap ucapan tahlil (LAA ILAHA ILLALLAH) adalah sedekah, setiap ucapan takbir ( ALLAHU AKBAR) adalah sedekah, memerintah kebaikan adalah sedekah, mencegah perkara mungkar (yang dibenci) adalah sedekah, dan dua raka’at yang dikerjakan seseorang dalam salat Dhuha telah mencakup semuanya .” (HR.Muslim) 3. Dari Abu Dzarr ra., ia berkata : Nabi SAW bersabda : “Diperlihatkan kepadaku amal-amal perbuatan umatku, yang baik maupun yang jelek. Aku mendapatkan dalam kelompok amal perbuatan yang baik, di antaranya menghilangkan gangguan dari jalan, dan aku mendapatkan dalam kelompok amal perbuatan yang jelek, di antaranya, ingus yang dibiarkan di masjid tanpa ditutupi atau dibuang .” (HR.Muslim)

4. Dari Abu Dzarr ra., ia berkata: “Orang-orang protes kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Tetapi mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi bersabda: “Bukankah Tuhan telah menjadikan sesuatu bagimu untuk sedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih, tahmid, adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan, melarang berbuat kemungkaran, dan bersetubuh (dengan istrinya) adalah sedekah.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan ia mengikuti syahwatnya?” Rasulullah bersabda: “Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang haram ia berdosa? Maka demikian pula apabila ia menempatkan syahwatnya itu pada yang halal, ia akan mendapat pahala.” (HR. Muslim)

5. Dari Abu Dzarr ra., ia berkata: “Nabi SAW bersabda: ‘Janganlah sekali-kali engkau meremehkan suatu kebaikan, walaupun hanya menemui saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ramah.’” (HR. Muslim)

6. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: ‘Setiap ruas tulang manusia sebaiknya disedekahi (oleh pemiliknya) setiap hari terbitnya matahari (sebagai pernyataan syukur kepada Allah untuk keselamatan tulangtulangnya). Dan macam sedekah itu banyak sekali, di antaranya berlaku adil di antara dua orang (yang sedang bertengkar), membantu teman ketika hendak menaiki tunggangannya atau memuatkan barang temannya ke punggungnya, ucapan yang baik, setiap langkah untuk melakukan shalat, dan menyingkirkan sesuatu yang membahayakan orang di jalan, adalah sedekah.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Dari ‘Aisyah ra., ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya setiap anak cucu Adam diciptakan sebanyak 360 ruas tulang. Maka siapa saja mengagungkan Allah (membaca takbir), memuji Allah membaca hamdalah (alhamdulillah), membaca tahlil (laa ilaaha illallaah), membaca tasbih (subhanallah), membaca istighfar (astaghfirullah), menyingkirkan batu dari jalanan, menyingkirkan duri atau tulang dari jalan umum, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, hingga genap tiga ratus enam puluh kali, berarti pada sore hari ia telah menjauhkan dirinya dari neraka.’” (HR Muslim)

8. Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Siapa saja yang pergi ke masjid di pagi hari maupun sore hari, Allah menyediakan hidangan surga baginya sepanjang pagi maupun sore.” (HR Bukhari dan Muslim)

9. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: ‘Wahai kaum muslimah, janganlah sekali-kali seorang tetangga itu merasa terhina untuk memberi sedekah kepada tetangganya, walaupun hanya berupa kikil kambing.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

10. Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Iman itu mempunyai tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, yang paling utama adalah ucapan: ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH’ (Tidak ada Tuhan selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan malu adalah cabang dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

11. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Kali tertentu ada seorang laki-laki yang berjalan. Di tengah perjalannya ia kehausan, ia menemukan sebuah sumur maka iapun turun ke dalamnya dan meminumnya. Kemudian ia keluar, tiba-tiba ada seekor anjing yang menjilat-jilat tanah karena kehausan, lantas orang itu berkata: ‘Anjing ini benar-benar kehausan sebagaimana diriku.’ Kemudian ia turun lagi dan mengisi sepatunya dengan air sampai penuh, kemudian ia menggigit sepatunya dan naik ke atas lalu ia memberinya minum. Allah memuji perbuatan orang itu karena menolong anjing dan Allah mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah menolong binatang juga memperolah pahala?” Beliau menjawab: “Menolong setiap makhluk yang mempunyai limpa itu mendapatkan pahala.” (HR Bukhari dan Muslim) Dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan : "Allah memuji perbuatan orang itu dan memberi ampunan kepadanya serta memasukkannya ke dalam surga." Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang lain disebutkan : "Kali tertentu ada seekor anjing yang berputar-putar di sekeliling sumur, ia hampir mati karena kehausan, ada seorang penjahat dari Bani Israil yang melihat anjing itu. Melihat yang demikian, ia melepaskan sepatunya dan mengambil air untuk diminurnkan pada anjing itu. Karena perbuatannya itu, diampunilah dosa-dosa penjahat itu."

12. Dari Abu Hurairah ra., Nabi SAW bersabda: "Kulihat ada seseorang yang bersenang-senang di dalam surga disebabkan ia memotong dahan yang berada di tengan jalan karena mengganggu kaum muslimin yang lewat. (HR. Bukhari) Dalam riwayat lain : "Ada seseorang yang berjalan dan ia terganggu sebuah dahan yang menghalanginya, kemudian ia berkata: ‘Demi Allah saya akan menyingkirkan dahan ini dari jalan, agar tidak mengganggu kaum muslimin yang lewat.’ Karena perbuatannya itu, ia dimasukkan surga." Dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan: "Ada seseorang yang berjalan dan menemukan dahan yang berduri di jalan, kemudian ia menyingkirkannya, maka Allah memuji orang itu dan mengampuni dosa-dosanya."

13. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa saja yang berwudhu dengan sempurna, kemudian menunaikan salat Jumat dan mendengarkan serta memperhatikan khutbah, maka diampunilah dosa-dosa yang dikerjakannya antara hari itu sampai hari Jumat berikutnya, ditambah tiga hari berikutnya. Dan siapa saja yang mempermainkan batu sewaktu ada khutbah maka sia-sialah Jumatnya.’” (HR. Muslim)

14. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah.SAW bersabda: ‘Jika orang muslim atau mukmin itu berwudhu, maka ketika ia membasuh mukanya, keluarlah setiap dosa yang dilakukan oleh kedua matanya, karena melihat sesuatu yang diharamkan. Hilangnya bersama-sama dengan air itu atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir. Jika ia membasuh kakinya, maka keluarlah dosa yang diperbuat oleh kedua kakinya, karena dipergunakan berjalan pada jalan yang tidak benar, bersama-sama dengan air atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir, sehingga ia bersih dari dosa.’” (HR. Muslim)

15. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW, bersabda : "Salat lima waktu, antara salat Jumat yang satu ke salat Jumat berikutnya, dan puasa pada bulan Ramadhan ke puasa Ramadhan berikutnya, menjadi penebus atas dosa-dosa yang dilakukan, selama dosa-dosa besar dijauhinya." (HR. Muslim)

16. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah SAW bertanya: "Maukah kalian kutunjukkan sesuatu yang dapat menghapus dosa-dosa dan dapat mengangkat derajat (di surga)?” Para sahabat menjawab: "Tentu saja, Ya Rasulullah." "Yaitu menyempurnakan wudhu pada waktu-waktu yang tidak disukai, memperbanyak langkah ke masjid dan menunggu salat setelah selesai salat. Itulah yang harus kalian utamakan." (HR. Muslim)

17. Dari Abu Musa Al-Asy'ari ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Siapa saja yang selalu menjaga salat Subuh dan salat Ashar niscaya ia masuk surga." (HR. Rukhari dan Muslim) 18. Dari Abu Musa Al-Asy'ari ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Apabila seseorang menderita sakit atau sedang bepergian, maka dicatatlah pahala baginya amal perbuatan yang biasa dikerjakannya pada waktu tidak bepergian dan pada waktu sehat." (HR. Bukhari)

19. Dari Jabir ra., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap perbuatan baik adalah sedekah.” (HR. Bukhari)

20. Dari Jabir ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Seorang muslim yang menanam tanaman, kemudian ia makan dari hasil tanaman itu termasuk sedekah baginya, juga bila hasil tanaman itu dicuri atau diambil orang, maka ia termasuk sedekah baginya." (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan: "Seorang muslim yang menanam tanaman atau menabur benih kemudian hasil tanamannya itu dimakan oleh manusia, binatang, maupun sesuatu yang lain, maka semua itu merupakan sedekah baginya sampai hari kiamat."

21. Dari Jabir ra., ia berkata: “Orang-orang Bani Salimah ingin berpindah rumah dekat dengan masjid, kemudian kabar itu terdengar Rasulullah SAW maka beliau bersabda kepada mereka: "Aku mendengar bahwa kalian ingin pindah tempat yang dekat dengan masjid." Mereka menjawab: "Benar wahai Rasulullah, kami ingin pindah dekat dengan masjid." Beliau bersabda: "Wahai Bani Salimah tetaplah kamu di rumahmu yang sekarang, karena bekas langkahmu akan dicatat." (HR. Muslim) Dalam riwayat lain dikatakan : "Setiap langkah itu mengangkat satu derajat."

22. Dari Abul Mundzir Ubay bin Ka'ab ra., ia berkata: "Ada seseorang yang sepanjang pengetahuan saya, tidak ada seorang pun yang lebih jauh tempatnya dari masjid dan ia tidak pernah tertinggal salat di masjid. Ada seseorang yang menyarankan: "Seandainya kamu membeli keledai yang dapat kamu naiki pada waktu gelap dan pada waktu panas, niscaya kamu tidak begitu lelah." la menjawab: "Saya tidak suka bila rumah saya dekat dengan masjid. Sesungguhnya saya menginginkan agar perjalanan saya, baik sewaktu pergi ke masjid maupun pulang ke rumah, itu selalu dicatat." Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Allah telah mengumpulkan semua catatan itu bagi kamu." (HR. Muslim) Dalam riwayat lain dikatakan: "Bagimu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan."

23. Dari Abu Muhammad Abdullah bin 'Amr bin 'Ash ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Ada empat puluh perbuatan, dan yang paling utama adalah mendermakan seekor kambing untuk diperas susunya. Dan siapa saja yang mengerjakan salah satu di antara empat puluh itu hanya mengharapkan pahala dan melaksanakan apa yang pernah dijanjikannya, niscaya Allah akan memasukkan surga karena amalnya.” (HR. Bukhari)

24. Dari 'Adiy bin Hatim ra., ia berkata: "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Takutlah kamu sekalian terhadap api neraka walaupun hanya bersedekah dengan separuh biji kurma." (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Salah seorang di antara kalian nanti akan berbicara langsung dengan Tuhannya, padahal antara dia dengan Tuhannya tidak ada penerjemah, kemudian ia melihat ke kanan tiada terlihat kecuali amal yang pernah dilakukannya, kemudian ia melihat ke kiri tiada terlihat kecuali api tepat di depan mukanya, maka takutlah kalian terhadap api itu walaupun hanya bersedekah dengaan separuh biji kurma. Siapa saja yang tidak mampu, maka cukup dengan kata-kata yang baik."

25. Dari Anas ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah ridha terhadap seseorang, yang apabila makan makanan, ia memuji kepada-Nya." (HR. Bukhari)

26. Dari Abu Musa ra. dari Nabi SAW beliau bersabda: "Setiap orang Islam itu wajib bersedekah." Salah seorang sahabat bertanya: "Bagaimana jika ia tidak mempunyai apa-apa ?" Beliau menjawab: "Hendaklah ia berbuat dengan kedua tangannya, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan bagi dirinya dan dapat pula untuk di sedekahkan!" Ia bertanya: "Bagaimana seandainya ia tidak mampu untuk berbuat seperti itu?" Beliau menjawab: "Hendaklah ia membantu orang yang sangat membutuhkan bantuannya!" Ia bertanya Iagi: "Bagaimana seandainya ia tidak mampu memberi bantuan?” Beliau menjawab: "Hendaknya ia menyuruh orang untuk berbuat baik!" Ia bertanya lagi: "Bagaimana seandainya ia juga tidak

Maqom-maqom dalam Tasawuf

Ada beberapa maqom (tingkatan) bagi orang yang menjalani titian tasawuf. Dalam setiap titian tersebut, pelakunya akan merasakan situasi-situasi tertentu.

Ketua Umum PBBNU KH Said Aqil Siroj mengurai tingkatan tasawuf tersebut di gedung PBNU, Jakarta, Senin malam, (28/01). Peserta pengajian tersebut adalah pengurus lajnah, banom dan lembaga di PBNU.

“Yang pertama adalah taubat atau mohon ampunan kepada Allah. Taubat itu bukan hanya sekadar mengucap astaghfirullah, tapi perubahan sikap. Astghafirullah hanya lafadnya,” ungkap kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.

Kiai yang pernah nyantri di Lirboyo dan Krepyak tersebut menambahkan, taubat itu sendiri terbagi ke dalam tiga tingkatan.

Taubatnya orang awam, yaitu taubat dari segala dosa.
Taubatnya ulama, yaitu taubat dari lupa. Dan taubatnya ahli tasawuf, taubat dari merasa dirinya ada (eksis).

“Setiap orang yang merasa dirinya “ada”, bisa jatuh ke dalam kemusyrikan,” ujar kiai yang juga doktor (S3) University of Umm Al-Qura Jurusan Aqidah atau Filsafat Islam, lulus pada tahun 1994.
Kita ini adalah “maujud” (diadakan). Kita hidup 30, 50, 100 tahun hanyalah “diadakan”. Sedangkan yang “ada” (wujud) hanyalah Allah. Dialah yang mengadakan kita. Kita harus merasa sementara dan diadakannya.

Tidak ada “aku” yang sesungguhya, kecuali “Aku”nya Allah, la ilaha ila ana . Tidak ada “dia” yang sesungguhnya kecuali “Dia” allah, lai ilaha ilah huwa.

Tidak ada kamu yang sesungguhnya, kecuali Kamu Allah, la ilaha ila anta.

Setelah taubat, sambung bapak dari empat anak ini, akan timbul tingkatan selanjutnya, yaitu waro’i. Orang yang mencapai maqom ini melihat segala sesuatu dengan hati-hati. Yang tidak betul-betul halal, tidak akan diambilnya. Tidak akan mengambil kedudukan yang bukan miliknya.

“Kalau waro’i sudah selesai, timbul zuhud,” tambah kiai yang akrabdisapa Kang Said tersebut.

Zuhud adalah memandang rendah dunia. Misalnya dapat uang 10 juta biasa-biasa saja. Hilang 10 juta juga biasa-biasa saja. Seperti Gus Dur. Saya melihat, ketika dia sebelum presiden, dia bersikap biasa saja. Ketika jadi presiden, bersikap biasa saja. Begitu juga ketika dia tidak jadi presiden.

Kang Said menegaskan, zuhud itu bukan berarti harus melarat, tapi lebih pada sikap. Orang kaya bisa zuhud, orang melarat bisa serakah. Tapi zuhud lebih pada sikap dan cara pandang orang terhadap dunia. Ia menyikapi selain Allah itu kecil.

Tiga tingkatan tersebut berada dalam proses takhalli atau pembersihan diri. Efek kejiwaan sementara orang dalam tingkatan ini adalah khauf, atau takut kepada Allah. “Segala amal soleh dan ibadah yang dilakukannya adalah lita’abud , untuk beribadah.”

SIHIR

"SIHIR.....” sebuah kata yang sudah tak asing lagi terdengar di telinga kita. Percaya atau tidak masyarakat kita dari zaman nenek moyangnya yang beragama dinamisme dan paganisme sudah terbiasa melakukan hal-hal yang di luar logika baik berupa perayaan adat ataupun ritual-ritual lainnya tak terkecuali seperti melakukan pemanggilan roh, jin dan hantu gentayangan yang notabene adalah jin atau setan yang digunakan sebagai alat untuk menunaikan maksud yang dituju. Diakui atau tidak semua ini adalah sihir dan perbuatan syirik yang dilaknat oleh Alloh SWT walaupun sebagian orang menganggap hal ini sudah biasa. Bahkan sebagian dari para paktisinya mengaku sebagai ustadz yang mampu memanggil, mengusir dan memerintahkan jin untuk tujuan tertentu dan ritual adat lainnya.
 
Akibat yang ditimbulkan oleh prilaku diatas adalah timbulnya berbagai macam bala penyakit mulai dari penyakit TAUHID (ini adalah penyakit yang paling fatal baik di dunia dan akhirat karena bisa membatalkan ke-islaman) hingga penyakit fisik (medis) dan penyakit ghoib (nonmedis). Fenomena yang sangat mengiris hati dimana negeri ini yang mayoritas kaum muslimin justru menjadi pionir para pelaku syirik.

Zuhud Tak Identik dengan Melarat

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menjelaskan, salah satu maqam atau tahapan spiritual dalam dunia tasawuf adalah zuhud . Menurut dia, secara prinsip zuhud tidak sama dengan meninggalkan kehidupan dunia.

”Zuhud bukan berarti melarat. Menganggap dunia ini kecil, meskipun orang itu kaya raya, itu zuhud,” terangnya saat mengasuh pengajian tasawuf PBNU di Lantai 5 Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (29/1) malam.

Kang Said, sapaan akrabnya, menyatakan, para wali Allah yang zahid tak sedikit yangmemiliki harta melimpah. Ini menunjukkan, zuhud tak bergantung pada jumlah kekayaan duniawi melainkan pengakuan tulus bahwa Allah lah satu-satunya keagungan paling hakiki.

Nilai kekayaan bersifat relatif bagi masing-masing orang dan karenanya mustahil menjadi sumber mutlak kebahagiaan seseorang. ”Kekayaan Indonesia ini cukupuntuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, tapi bisa tidak cukup hanya untuk satu orang yang tamak,” imbuhnya.

Dalam kesempatan ini, Kang Said menguraikan perihal tingkatan-tingkatan spiritual ( maqamat ) dalam tasawuf, yang terjadi dalam tiga proses yakni takhalli (pembersihan diri), tahalli (penghiasan diri), lalu tajalli (pengejawentahan diri).

Taubat, wara ’, dan zuhud merupakan serangkaian proses takhalli yang dapat menimbulkan rasa takut ( khauf ) dalam diriseseorang sehingga giat pada usaha penghambaan ( ta’abbdud ). Sementara tawakal, ridla , dan syukur menempati fase tahalli.

Tahapan ini memancarkan harapanakan Allah ( raja ’) dengan orientasi upaya mendekatkan diri kepada-Nya ( taqarrub ).

Pada proses ketiga atau tajalli , penempuh jalan tasawuf akan menerapkan mahabbah (cinta), thuma’ninah (ketenangan), dan ma’rifah (penyaksian). Tahapan ini mengakibatkan seseorang untuk senantiasa harmonis ( uns ) dengan Allah dengan segenap perlilaku yang merupakan bentuk realisasi akan kebenaran, keindahan, dan kebaikan Allah( tahaqquq ).

Tawakal Gugurkan Logika Kausalitas

Dalam menempuh perjalanan menuju Allah, seseorang harus melewati beberapa pos-pos tertentu. Seseorang akan melewatinya baik secara lancar maupun lambat sesuai dengan bobot bantuan Allah yang diterimanya selama perjalanan.

Setelah melewati gerbang pertobatan, kewara‘an, dan kezuhudan, seseorang akan memasuki pintu pos tawakal.

Tawakal merupakan bentuk kepasrahan penuh kepada Allah atas segala keadaan yang sudah, sedang, dan akan terjadi.

Seseorang yang bertawakal, memercayakan diri kepada kehendak Allah atas segala bentuk upaya-upaya lahiriah. Karena, tawakal merupakan sikap batin seseorang. Seseorang yang bertawakal, tidak mengandalkan upayanya dalam mencapai sebuah tujuan tertentu.

“Bagi seseorang yang sudah bertawakal, segala amal ibadah tidak menjadi tumpuan dalam mencapai tujuan-tujuannya,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (Kang Said) dalam pengajiantasawuf di kantor PBNU jalan Kramat Raya,Jakarta Pusat, Senin (28/1) malam.

Dalam kaitan ini, Kang Said melansir ucapan Imam Ghazali, ketika seseorang sudah mantap di maqam tawakal, maka logika kausalitas menjadi gugur dalam pandangannya. Aspek kausalitas (sebab-akibat), tidak lagi menjadi faktor yang menentukan.

Kang Said mengambil sebuah contoh konkret. Sehelai kertas menjadi hangus terbakar karena tersentuh api. Peristiwa terbakarnya kertas karena api yang terus berulang setiap hari, merupakan hukum adat, kebiasaan.

Mereka yang belum sampai di maqam tawakal, akan menduga hukum adat tersebut sebagai sebab-akibat. Mereka menduga api sebagai penyebab terbakarnya kertas. Padahal, peristiwa itu hanya bersifat kebiasaan.

Logika kausalitas itu diruntuhkan oleh peristiwa ketahanan Nabi Ibrahim AS saat disiksa dalam api besar oleh penguasa zamannya.
Api zaman itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap Nabi Ibrahim AS. Peristiwa ini menunjukan api bukanlah sebab terbakarnya sesuatu, tegas Kang Said.

Sedangkan bagi mereka yang sudah teguh menginjak maqam tawakal, akan melihat hukum kausalitas sebagai peristiwa lahiriah belaka. Secara batin, dia memandang Allah sebagai penyebab segala peristiwa yang terjadi, tandas Kang Said.

KANG SAID NGAJI TASAWUF

Tiga Kategori Zikir kepada Allah

Jakarta, NU Online
Zikir kepada Allah SWT memiliki tiga kategori. Pertama , zikir asma-Nya. Kedua , zikir sifat-Nya. Ketiga , zikir zat-Nya. Setiap muslim yang berzikir, tidak akan terlepas dari tiga kategori zikir itu.
Demikian dikatakan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam pengajian rutin tasawuf di Kantor PBNU, jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Senin (18/2) malam.

Di hadapan sedikitnya 35 hadirin yang terdiri jajaran pengurus PBNU, lembaga, lajnah, dan banom NU, KH Said Aqil Siroj yang akrab disapa Kang Said mengatakan bahwa zikir asma Allah dilakukan mereka yang berada pada tahap mencari ketenangan kepada Allah atas segala kejadian terkait diri mereka.

“Mereka mengingat suatu peristiwa melalui asma-Nya. Mereka mengingat Allah sebagai pemberi rezeki, pencipta, penolong, penjaga, pembuka, pengampun, pemberi kehidupan, penentu kematian, dan asma-Nya yang lain. Namun,mereka hanya mengingat Allah sejauh momentum terkait makna asma-Nya,” kata Kang Said.

Sedangkan zikir sifat-Nya dilakukan oleh mereka yang mencintai Allah. Dengan zikiritu, mereka melihat Allah sebagai penguasa mutlak, yang berkehendak, yang melihat, yang mendengar, yang hidup, dan yang berkata-kata, tambah Kang Said.

Menurut Kang Said, mereka yang berzikir sifat-Nya, selalu merasakan kehadiran Allah dalam setiap waktu. Mereka menilai, sebentar saja kerja sifat Allah terhenti maka alam semesta mengalami kehancuran. Karena, Allah melalui sifat-Nya selalu memiliki keterhubungan atas segala kejadian alam semesta tanpa terfragmentasi dalam momen-momen tertentu.

Sedangkan, kata Kang Said, mereka yang berzikir zat Allah mengabaikan segala kaitan alam semesta dengan-Nya. Mereka hanya mengingat zat-Nya semata tanpa ada pamrih lahir maupun batin. Mereka mengingat murni zat Allah tanpa mengaitkan asma dan sifat-Nya.

Seorang muslim boleh mengingat Allah dengan zikir asma dan sifat-Nya dengan durasi panjang. Mereka bebas berdoa, meminta rezeki, dan ampunan sebanyak-banyaknya. Tetapi, mereka harus meluangkan satu waktu meski sebentar dalam sehari, melakukan zikir zat-Nya. Karena, makhluk paling beruntung adalah mereka yang melakukan zikir zat tanpa kaitan apapun, tutup Kang Said.

Dengki itu Memakan Kebaikan

Mari kita simak dengan iman Kalam Allah ini, "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian lain. Karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanitapun ada bagian dari apa yang mereka usahakan "(QS 4:32).

Rasulullah bersabda, "Dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu", Hasud itu tidak senang melihat kelebihan orang lain, lalu diapun berusaha menjatuhkan kehormatan orang itu dengan berbagai cara, dari mengintai keburukannya, mempergunjingnya, menebar fitnah, sampai kedukunpun dilakukan dan bahkan sampai membunuh.

Kisah lucu monyet yang dengki kepada burung gagak. Monyet berusaha meloncati buah anggur, tetapi tidak berhasil, sementara burung gagak dengan mudah meraihnya, dengan kesal monyet keliling hutan sambil berteriak, "anggur itu rasanya pahit dan asem", padahal hanya karena yang diinginkannya tidak tercapai.

Hasud adalah penyakit hati yang membuat tubuhnya juga sakit, berasal dari cinta dunia, sombong merasa dirinya lebih hebat. Allah mengajarkan hamba-hamba-Nya beriman agar terhindar dari penyakit dengki dan selamat dari pendengki dalam surah Al Falaq, "min syarri haasidin idzaa hasad, "Ya Allah, kami mohon perlindunganMU dari sifat hasud dan orang-orang yang hasud... Aamiin".

GUS MUS DAN MAKRIFATNYA MBAH MARZUQI

Ada satu pengalaman menakjubkan saat Gus Mus masih nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo. Pada saat itu pengasuhnya adalah KH. Marzuqi Dahlan. Inilah penuturan beliau:

Waktu itu saya dan kawan-kawan sedang berkumpul merencanakan akan ‘ngambil’ tebu. Sebab saya dengar sebentar lagi tebu akan ditebang. Untuk itu bersama kawan-kawan, saya berencana mencuri beberapa lonjor tebu. Kami waktu itu telah bersiap-siap untuk menjalankan aksi.

Kebetulan, lokasi kamar Mars yang saya tempati itu dekat dengan ndalemnya (kediaman) Mbah Marzuqi. Saya berjalan paling depan. Dan ketika saya lewat depan ndalem, tiba-tiba saya dipanggil oleh Mbah Marzuqi: “Gus, Gus, mriki”, kata beliau yang dengan siapa saja selalu memakai bahasa Jawa kromo, meskipun kepada santrinya yang masih anak kecil.

Saya pada waktu itu baru saja masih lulus SR (Sekolah Rakyat, setara SD). Ternyata beliau benar-benar memanggil saya: “Mriki-mriki, Gus!” (Kesini Gus).

Panggilan beliau tentu membuat saya kaget, sebab bebarengan sekali dengan kegiatan saya yang akan ‘nyolong’ tebu bersama kawan-kawan. Saya lantas mendekat, lalu ditanya begini: “Gus, sampean doyan tebu?”

Kontan saja saya kaget bukan main. Saya keringetan pada waktu itu. Pertanyaan ini membuat saya terdiam dan takut. Saking takutnya, saya tidak bisa bergerak sama sekali. Sebab, sebelumnya saya tidak menyangka tiba-tiba beliau kok bertanya seperti itu. “Nanyanya kok pas sekali”, gumam saya dalam hati.

Beliau lalu menyuruh saya menunggu. Sebentar kemudian beliau keluar dari ndalemnya dengan memanggul seonggok lonjor tebu. Beliau bilang: “Niki sampean kula pilihaken sing apik-apik Gus.” (Ini untuk Anda saya pilihkan yang bagus-bagus Gus).

Setelah tebu itu diberikan kepada saya beliau berkata: “Niki dipun bagi kalih rencang-rencang lintune nggih?” (Ini dibagi pada teman-teman yang lain ya?)

Setelah menyaksikan peristiwa itu, akhirnya saya dan kawan-kawan tidak jadi mencuri tebu. Saya jadi bertanya-tanya, kira-kira siapa ya orang yang telah membocorkan rencana itu? Padahal saat itu beliau kan tidak tahu rencana saya dan kawan-kawan.

Wallahu a’lam bishshawab.

JANGAN MENIKAH KARENA...

JANGAN MENIKAH KARENA...

1. Jangan menikah karena harta

Tidak ada gunanya hidup bergelimangan harta tanpa cinta. Harta dapat datang dan pergi setiap saat. Cinta yang sesat dan sesaat dapat diperoleh setiap saat, tapi cinta yang sejati tidak dapat dibeli dengan harta.

2. Jangan menikah karena perasaan asmara

Rasa tertarik, simpati, naksir, yang merupakan asmara yang sering disalahartikan sebagai cinta. Asmara itu bukan cinta. Asmara dapat cepat berubah oleh rupa, harta, tempat dan keadaan. Asmara itu buta, tidak tahan lama dan tidak tahan uji. Cinta perlu diuji dalam suka dan duka dengan mata terbuka.

3. Jangan menikah karena rupa saja

Kecantikan yang di luar memang indah, tapi dapat luntur termakan umur. Utamakanlah kecantikan yang di dalam.

4. Jangan menikah karena iba

Iba (rasa kasihan) memang baik dan harus ada dalam hidup kita, tapi tidak boleh menjadi dasar pernikahan. Kasihan dapat habis, tapi kasih tidak berkesudahan. Dasar pernikahan adalah kasih, bukan kasihan.

5. Jangan menikah untuk kepuasan sex saja

Memang sex suci dan penting dalam hubungan suami-istri, namun tidak boleh menjadi tujuan utama dari pemikahan. Sex hanyalah salah satu bagian dari pernikahan. Orang yang hanya mengejar kenikmatan sex akan kecewa dan terjerat oleh kesusahan yang diciptakannya sendiri.

6. Jangan menikah karena paksaan keluarga

Seorang anak harus berbakti kepada keluarga, namun tidak boleh menyerah dalam hal nikah, kalau mereka memang salah dan anda benar. Berdoalah dan berikanlah penjelasan kepada mereka, jangan dengan kekerasan.

7. Jangan menikah karena desakan usia

Bila semakin bertambahnya usia dan rekan-rekan sudah berpasangan, orang akan mulai gelisah (terutama pada wanita). Banyak orang akhimya asal tabrak dan sikat. Hindarilah tindakan tersebut. Sabarlah dan yakinilah bahwa Tuhan sudah menyediakan yang terbaik untuk anda. Jangan takut kehabisan jatah dan kadaluarsa.

8. Jangan menikah untuk membalas jasa

Orang yang telah berbuat baik perlu dibalas, tapi jangan dengan pernikahan.

********************************************
Ketika Santri-santrian Menasihati Dirinya untuk Menikah ^_^