Ada beberapa maqom (tingkatan) bagi orang yang
menjalani titian tasawuf. Dalam setiap titian tersebut, pelakunya akan
merasakan situasi-situasi tertentu.
Ketua Umum PBBNU KH Said Aqil Siroj mengurai tingkatan tasawuf tersebut di gedung PBNU, Jakarta, Senin malam, (28/01). Peserta pengajian tersebut adalah pengurus lajnah, banom dan lembaga di PBNU.
“Yang pertama adalah taubat atau mohon ampunan kepada Allah. Taubat itu bukan hanya sekadar mengucap astaghfirullah, tapi perubahan sikap. Astghafirullah hanya lafadnya,” ungkap kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.
Kiai yang pernah nyantri di Lirboyo dan Krepyak tersebut menambahkan, taubat itu sendiri terbagi ke dalam tiga tingkatan.
Taubatnya orang awam, yaitu taubat dari segala dosa.
Taubatnya ulama, yaitu taubat dari lupa. Dan taubatnya ahli tasawuf, taubat dari merasa dirinya ada (eksis).
“Setiap orang yang merasa dirinya “ada”, bisa jatuh ke dalam kemusyrikan,” ujar kiai yang juga doktor (S3) University of Umm Al-Qura Jurusan Aqidah atau Filsafat Islam, lulus pada tahun 1994.
Kita ini adalah “maujud” (diadakan). Kita hidup 30, 50, 100 tahun hanyalah “diadakan”. Sedangkan yang “ada” (wujud) hanyalah Allah. Dialah yang mengadakan kita. Kita harus merasa sementara dan diadakannya.
Tidak ada “aku” yang sesungguhya, kecuali “Aku”nya Allah, la ilaha ila ana . Tidak ada “dia” yang sesungguhnya kecuali “Dia” allah, lai ilaha ilah huwa.
Tidak ada kamu yang sesungguhnya, kecuali Kamu Allah, la ilaha ila anta.
Setelah taubat, sambung bapak dari empat anak ini, akan timbul tingkatan selanjutnya, yaitu waro’i. Orang yang mencapai maqom ini melihat segala sesuatu dengan hati-hati. Yang tidak betul-betul halal, tidak akan diambilnya. Tidak akan mengambil kedudukan yang bukan miliknya.
“Kalau waro’i sudah selesai, timbul zuhud,” tambah kiai yang akrabdisapa Kang Said tersebut.
Zuhud adalah memandang rendah dunia. Misalnya dapat uang 10 juta biasa-biasa saja. Hilang 10 juta juga biasa-biasa saja. Seperti Gus Dur. Saya melihat, ketika dia sebelum presiden, dia bersikap biasa saja. Ketika jadi presiden, bersikap biasa saja. Begitu juga ketika dia tidak jadi presiden.
Kang Said menegaskan, zuhud itu bukan berarti harus melarat, tapi lebih pada sikap. Orang kaya bisa zuhud, orang melarat bisa serakah. Tapi zuhud lebih pada sikap dan cara pandang orang terhadap dunia. Ia menyikapi selain Allah itu kecil.
Tiga tingkatan tersebut berada dalam proses takhalli atau pembersihan diri. Efek kejiwaan sementara orang dalam tingkatan ini adalah khauf, atau takut kepada Allah. “Segala amal soleh dan ibadah yang dilakukannya adalah lita’abud , untuk beribadah.”
Ketua Umum PBBNU KH Said Aqil Siroj mengurai tingkatan tasawuf tersebut di gedung PBNU, Jakarta, Senin malam, (28/01). Peserta pengajian tersebut adalah pengurus lajnah, banom dan lembaga di PBNU.
“Yang pertama adalah taubat atau mohon ampunan kepada Allah. Taubat itu bukan hanya sekadar mengucap astaghfirullah, tapi perubahan sikap. Astghafirullah hanya lafadnya,” ungkap kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.
Kiai yang pernah nyantri di Lirboyo dan Krepyak tersebut menambahkan, taubat itu sendiri terbagi ke dalam tiga tingkatan.
Taubatnya orang awam, yaitu taubat dari segala dosa.
Taubatnya ulama, yaitu taubat dari lupa. Dan taubatnya ahli tasawuf, taubat dari merasa dirinya ada (eksis).
“Setiap orang yang merasa dirinya “ada”, bisa jatuh ke dalam kemusyrikan,” ujar kiai yang juga doktor (S3) University of Umm Al-Qura Jurusan Aqidah atau Filsafat Islam, lulus pada tahun 1994.
Kita ini adalah “maujud” (diadakan). Kita hidup 30, 50, 100 tahun hanyalah “diadakan”. Sedangkan yang “ada” (wujud) hanyalah Allah. Dialah yang mengadakan kita. Kita harus merasa sementara dan diadakannya.
Tidak ada “aku” yang sesungguhya, kecuali “Aku”nya Allah, la ilaha ila ana . Tidak ada “dia” yang sesungguhnya kecuali “Dia” allah, lai ilaha ilah huwa.
Tidak ada kamu yang sesungguhnya, kecuali Kamu Allah, la ilaha ila anta.
Setelah taubat, sambung bapak dari empat anak ini, akan timbul tingkatan selanjutnya, yaitu waro’i. Orang yang mencapai maqom ini melihat segala sesuatu dengan hati-hati. Yang tidak betul-betul halal, tidak akan diambilnya. Tidak akan mengambil kedudukan yang bukan miliknya.
“Kalau waro’i sudah selesai, timbul zuhud,” tambah kiai yang akrabdisapa Kang Said tersebut.
Zuhud adalah memandang rendah dunia. Misalnya dapat uang 10 juta biasa-biasa saja. Hilang 10 juta juga biasa-biasa saja. Seperti Gus Dur. Saya melihat, ketika dia sebelum presiden, dia bersikap biasa saja. Ketika jadi presiden, bersikap biasa saja. Begitu juga ketika dia tidak jadi presiden.
Kang Said menegaskan, zuhud itu bukan berarti harus melarat, tapi lebih pada sikap. Orang kaya bisa zuhud, orang melarat bisa serakah. Tapi zuhud lebih pada sikap dan cara pandang orang terhadap dunia. Ia menyikapi selain Allah itu kecil.
Tiga tingkatan tersebut berada dalam proses takhalli atau pembersihan diri. Efek kejiwaan sementara orang dalam tingkatan ini adalah khauf, atau takut kepada Allah. “Segala amal soleh dan ibadah yang dilakukannya adalah lita’abud , untuk beribadah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar