Dalam menempuh perjalanan menuju Allah,
seseorang harus melewati beberapa pos-pos tertentu. Seseorang akan
melewatinya baik secara lancar maupun lambat sesuai dengan bobot bantuan
Allah yang diterimanya selama perjalanan.
Setelah melewati gerbang pertobatan, kewara‘an, dan kezuhudan, seseorang akan memasuki pintu pos tawakal.
Tawakal merupakan bentuk kepasrahan penuh kepada Allah atas segala keadaan yang sudah, sedang, dan akan terjadi.
Seseorang yang bertawakal, memercayakan diri kepada kehendak Allah atas segala bentuk upaya-upaya lahiriah. Karena, tawakal merupakan sikap batin seseorang. Seseorang yang bertawakal, tidak mengandalkan upayanya dalam mencapai sebuah tujuan tertentu.
“Bagi seseorang yang sudah bertawakal, segala amal ibadah tidak menjadi tumpuan dalam mencapai tujuan-tujuannya,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (Kang Said) dalam pengajiantasawuf di kantor PBNU jalan Kramat Raya,Jakarta Pusat, Senin (28/1) malam.
Dalam kaitan ini, Kang Said melansir ucapan Imam Ghazali, ketika seseorang sudah mantap di maqam tawakal, maka logika kausalitas menjadi gugur dalam pandangannya. Aspek kausalitas (sebab-akibat), tidak lagi menjadi faktor yang menentukan.
Kang Said mengambil sebuah contoh konkret. Sehelai kertas menjadi hangus terbakar karena tersentuh api. Peristiwa terbakarnya kertas karena api yang terus berulang setiap hari, merupakan hukum adat, kebiasaan.
Mereka yang belum sampai di maqam tawakal, akan menduga hukum adat tersebut sebagai sebab-akibat. Mereka menduga api sebagai penyebab terbakarnya kertas. Padahal, peristiwa itu hanya bersifat kebiasaan.
Logika kausalitas itu diruntuhkan oleh peristiwa ketahanan Nabi Ibrahim AS saat disiksa dalam api besar oleh penguasa zamannya.
Api zaman itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap Nabi Ibrahim AS. Peristiwa ini menunjukan api bukanlah sebab terbakarnya sesuatu, tegas Kang Said.
Sedangkan bagi mereka yang sudah teguh menginjak maqam tawakal, akan melihat hukum kausalitas sebagai peristiwa lahiriah belaka. Secara batin, dia memandang Allah sebagai penyebab segala peristiwa yang terjadi, tandas Kang Said.
Setelah melewati gerbang pertobatan, kewara‘an, dan kezuhudan, seseorang akan memasuki pintu pos tawakal.
Tawakal merupakan bentuk kepasrahan penuh kepada Allah atas segala keadaan yang sudah, sedang, dan akan terjadi.
Seseorang yang bertawakal, memercayakan diri kepada kehendak Allah atas segala bentuk upaya-upaya lahiriah. Karena, tawakal merupakan sikap batin seseorang. Seseorang yang bertawakal, tidak mengandalkan upayanya dalam mencapai sebuah tujuan tertentu.
“Bagi seseorang yang sudah bertawakal, segala amal ibadah tidak menjadi tumpuan dalam mencapai tujuan-tujuannya,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (Kang Said) dalam pengajiantasawuf di kantor PBNU jalan Kramat Raya,Jakarta Pusat, Senin (28/1) malam.
Dalam kaitan ini, Kang Said melansir ucapan Imam Ghazali, ketika seseorang sudah mantap di maqam tawakal, maka logika kausalitas menjadi gugur dalam pandangannya. Aspek kausalitas (sebab-akibat), tidak lagi menjadi faktor yang menentukan.
Kang Said mengambil sebuah contoh konkret. Sehelai kertas menjadi hangus terbakar karena tersentuh api. Peristiwa terbakarnya kertas karena api yang terus berulang setiap hari, merupakan hukum adat, kebiasaan.
Mereka yang belum sampai di maqam tawakal, akan menduga hukum adat tersebut sebagai sebab-akibat. Mereka menduga api sebagai penyebab terbakarnya kertas. Padahal, peristiwa itu hanya bersifat kebiasaan.
Logika kausalitas itu diruntuhkan oleh peristiwa ketahanan Nabi Ibrahim AS saat disiksa dalam api besar oleh penguasa zamannya.
Api zaman itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap Nabi Ibrahim AS. Peristiwa ini menunjukan api bukanlah sebab terbakarnya sesuatu, tegas Kang Said.
Sedangkan bagi mereka yang sudah teguh menginjak maqam tawakal, akan melihat hukum kausalitas sebagai peristiwa lahiriah belaka. Secara batin, dia memandang Allah sebagai penyebab segala peristiwa yang terjadi, tandas Kang Said.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar